"menambah pengetahuan dan wawasan bagi semuanya"

Minggu, 22 Juni 2014

Makalah Pemilukada

Makalah Pemilukada


BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang Pemilukada di Indonesia
Pemilukada adalah merupakan akibat dari pemberlakuan otonomi daerah. Dimana otonomi daerah adalah akibat dari digunakannya sistem pemerintahan desentralisasi.
Sebelum diberlakukan otonomi daerah, Indonesia menganut pemerintahan sentralisasi. Namun banyak dari masyarakat Indonesia merasa tidak terwakili aspirasinya dengan pemerintahan sentralisasi. Oleh karenanya, diberlakukanlah otonomi daerah.
Lalu mengapa pemerintahan sentralisasi dianggap kurang memenuhi aspirasi masyarakat Indonesia ?
Pertama-tama apakah maksud dari pemerintahan sentralisasi ?
Pemerintahan sentralisasi berlaku tatkala terjadi pemusatan seluruh wewenang atas segala urusan yang menyangkut pemerintahan kepada pemerintah pusat.
Sebenarnya ada sisi positif dari pemerintahan sentralisasi, yaitu pemerintah daerah tidak perlu pusing-pusing menentukan kebijakan atas daerahnya sendiri, karena seluruh kebijakan dikoordinir oleh pemerintah pusat.
Namun pemerintahan sentralisasi juga tidak lepas dari sisi negatif, yaitu seluruh kebijakan di daerah dihasilkan oleh orang-orang yang berada di pemerintah pusat sehingga waktu yang diperlukan untuk menentukan suatu kebijakan menjadi lama, dan ada kebijakan yang ditentukan oleh pemerintah pusat bagi daerah yang dirasa kurang memenuhi aspirasi masyarakat di daerah tersebut.
Jadi, pemerintahan sentralisasi dianggap kurang memenuhi aspirasi masyarakat Indonesia, karena ada kebijakan yang ditentukan oleh pemerintah pusat bagi daerah yang dirasa kurang memenuhi aspirasi masyarakat di daerah tersebut.
Ketidakpuasan masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan sentralisasi pada akhirnya membawa Negara Indonesia memberlakukan pemerintahan desentralisasi yang berdampak adanya otonomi daerah.
Pemerintahan desentralisasi berlaku tatkala ada penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari rakyat di daerah tersebut dalam kerangka Negara kesatuan Republik Indonesia.
Otonomi daerah adalah kewenangan suatu daerah untuk menyusun, mengatur dan mengurus daerahnya sendiri tanpa ada campur tangan serta bantuan dari pemerintah pusat.
Pemberlakuan otonomi daerah tidak terlepas dari sisi negatif, yaitu daerah harus mengurusi pemerintahannya sendiri termasuk melaksanakan Pilkada sendiri sehingga rawan terjadi konflik, terutama dalam masa transisi dari pemerintahan sentralisasi ke desentralisasi.
Sedangkan sisi positif dari otonomi daerah, yaitu kebijakan yang ada di daerah dapat diputuskan di daerah tanpa campur tangan pemerintah pusat sehingga diharapkan lebih memenuhi aspirasi masyarakat di daerah tersebut.
Dengan diberlakukannya otonomi daerah, maka daerah harus melaksanakan Pemilukada sendiri untuk memilih kepala dan wakil kepala daerahnya.  

B.     Sejarah Pemilukada di Indonesia
Pemilukada pertama kali diselenggarakan pada bulan Juni 2005. Sebelum tahun 2005, kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Sejak berlakunya UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat Pilkada.
Sejak berlakunya UU No. 22 tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum, Pilkada dimasukkan dalam rezim Pemilu, sehingga secara resmi bernama Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat Pemilukada.
Pada tahun 2011, terbit Undang-Undang baru tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum, yaitu UU No. 15 tahun 2011.  


C.    Pokok Permasalahan
Pemilukada yang dilaksanakan sejak tahun 2005 ternyata bukannya tanpa masalah. Banyak terjadi konflik dalam pelaksanaan Pemilukada. Banyak terjadi sengketa terhadap hasil Pemilukada. Pencegahan terjadinya konflik dan perbaikan dalam pelaksanaan Pemilukada masih terus dilakukan.
Kemudian bagaimana sebenarnya pelaksanaan Pemilukada dan bagaimana penyelesaian sengketa terhadap hasil Pemilukada ?
Dalam bab II penulis akan membahas tentang pelaksanaan Pemilukada dan penyelesaian sengketa terhadap hasil Pemilukada.

           












BAB II
PEMBAHASAN


A.    Landasan hukum Pemilukada di Indonesia
Ketentuan tentang Pemilukada diatur dalam pasal 18 ayat (4) UUD 1945, yang berbunyi “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”.
Sedangkan Undang-Undang yang mengatur tata pelaksanaan Pemilukada di Indonesia adalah UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam pasal 21 UU No. 32 tahun 2004 diatur tentang hak-hak daerah dalam menyelenggarakan otonomi, dimana salah satu haknya adalah memilih pimpinan daerah.
Juga ada Undang-Undang yang mengatur tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum, yaitu UU No. 15 tahun 2011.

B.     Penyelenggaraan Pemilukada di Indonesia
Sesuai dengan pasal 24 UU No. 32 tahun 2004, di Indonesia saat ini pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung oleh penduduk daerah administratif setempat yang memenuhi syarat. Pemilihan kepala daerah dilakukan satu paket bersama dengan wakil kepala daerah.
Kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dimaksud mencakup ;
·         Gubernur dan wakil gubernur untuk provinsi.
·         Bupati dan wakil bupati untuk kabupaten.
·         Walikota dan wakil walikota untuk kota.
Pemilukada diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) provinsi dan KPUD kabupaten atau kota dengan diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) provinsi dan Panwaslu kabupaten atau kota.
Khusus di Aceh, Pemilukada diselenggarakan oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP) dengan diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Aceh (Panwaslih Aceh).
Berdasarkan pasal 56 ayat (2) UU No. 32 tahun 2004, peserta Pemilukada adalah pasangan  calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Ketentuan ini diubah dengan UU No. 12 tahun 2008, yang menyatakan bahwa peserta Pemilukada juga dapat berasal dari pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang. Undang-Undang ini menindaklanjuti keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan beberapa pasal menyangkut peserta Pemilukada dalam UU No. 32 tahun 2004.
Khusus di Aceh, peserta Pemilukada juga dapat diusulkan oleh partai politik lokal.
Mengenai masa jabatan kepala daerah diatur dalam pasal 110 ayat (3) UU No. 32 tahun 2004, yang menyatakan bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah yang telah dilantik secara sah sesuai dengan pasal 110 ayat (1) UU No. 32 tahun 2004 memegang jabatan selama lima tahun terhitung sejak pelantikan dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.
Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan dalam pelaksanaan Pemilukada diancam dengan ketentuan pidana yang diatur pada pasal 115 sampai 119 UU No. 32 tahun 2004.

C.    Penyelesaian Sengketa Terhadap Hasil Pemilukada
Jika terjadi sengketa tentang hasil Pemilukada, maka yang berwenang menyelesaikannya adalah Mahkamah Konstitusi. Hal ini sebenarnya janggal, karena pada awal penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (Pilkada) kewenangan untuk menangani sengketa hasil Pilkada diserahkan kepada Mahkamah Agung.
Pada mulanya sesuai dengan pasal 24C ayat (1) UUD 1945, tugas utama Mahkamah Konstitusi adalah menguji Undang-Undang (UU) yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), dan kewenangan-kewenangan lainnya adalah memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Setelah munculnya UU No. 22 tahun 2007 yang menggolongkan pemilihan kepala daerah ke dalam rezim Pemilu, barulah terjadi pelimpahan kewenangan dari Mahkamah Agung kepada Mahkamah Konstitusi untuk memutuskan sengketa terhadap hasil Pemilukada.
Bertambahnya kewenangan Mahkamah Konstitusi menyebabkan bertambah banyak gugatan yang masuk. Apalagi menurut pasal 78 huruf (a) UU No. 24 tahun 2003, batas waktu penyelesaian sengketa terhadap hasil Pemilukada paling lambat 14 hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.
Banyaknya gugatan yang masuk dan sempitnya waktu penyelenggaraan peradilan (14 hari) berdampak tidak maksimalnya Mahkamah Konstitusi dalam memeriksa dan memutus kasus sengketa terhadap hasil Pemilukada.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat (upaya pertama dan terakhir) dalam penyelesaian perselisihan tentang hasil pemilihan umum, juga berdampak negatif. Sifat final dan mengikat artinya setelah Mahkamah Konstitusi memutus tidak ada lagi upaya lain yang dapat ditempuh. Hal ini bisa menjadi ladang korupsi. Didukung lagi dengan tidak adanya lembaga pengawas yang mengawasi jalannya setiap persidangan sengketa terhadap hasil pemilihan umum di Mahkamah Konstitusi.



BAB III
PENUTUP


A.    Kesimpulan
Pemilukada dilaksanakan setelah pemberlakuan otonomi daerah. Masa transisi dari pemerintahan sentralisasi ke desentralisasi menyebabkan pelaksanaan otonomi daerah masih belum seperti yang diharapkan masyarakat. Pelaksanaan Pemilukada juga belum memenuhi pengharapan masyarakat.

B.     Saran
Tidak ada satupun hal yang sempurna di dunia ini, wajar saja jika otonomi daerah juga mempunyai sisi negatif. Pengharapan masyarakat akan pemerintahan yang lebih baik dengan diterapkannya otonomi daerah mungkin belum bisa terwujud saat ini. Tetapi bisa saja terwujud di masa depan dengan perbaikan berbagai sumber daya yang ada, terutama sumber daya manusia. Karena jika otonomi daerah diibaratkan sebagai senjata, keberhasilan otonomi daerah bergantung pada manusia-manusia yang melaksanakannya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar