BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Pemilukada di Indonesia
Pemilukada adalah merupakan akibat dari pemberlakuan
otonomi daerah. Dimana otonomi daerah adalah akibat dari digunakannya sistem
pemerintahan desentralisasi.
Sebelum diberlakukan otonomi daerah, Indonesia
menganut pemerintahan sentralisasi. Namun banyak dari masyarakat Indonesia
merasa tidak terwakili aspirasinya dengan pemerintahan sentralisasi. Oleh
karenanya, diberlakukanlah otonomi daerah.
Lalu mengapa pemerintahan sentralisasi dianggap
kurang memenuhi aspirasi masyarakat Indonesia ?
Pertama-tama apakah maksud dari pemerintahan
sentralisasi ?
Pemerintahan
sentralisasi berlaku tatkala terjadi pemusatan seluruh wewenang atas segala
urusan yang menyangkut pemerintahan kepada pemerintah pusat.
Sebenarnya ada sisi
positif dari pemerintahan sentralisasi, yaitu pemerintah daerah tidak perlu
pusing-pusing menentukan kebijakan atas daerahnya sendiri, karena seluruh
kebijakan dikoordinir oleh pemerintah pusat.
Namun pemerintahan
sentralisasi juga tidak lepas dari sisi negatif, yaitu seluruh kebijakan di
daerah dihasilkan oleh orang-orang yang berada di pemerintah pusat sehingga
waktu yang diperlukan untuk menentukan suatu kebijakan menjadi lama, dan ada
kebijakan yang ditentukan oleh pemerintah pusat bagi daerah yang dirasa kurang
memenuhi aspirasi masyarakat di daerah tersebut.
Jadi, pemerintahan
sentralisasi dianggap kurang memenuhi aspirasi masyarakat Indonesia, karena ada
kebijakan yang ditentukan oleh pemerintah pusat bagi daerah yang dirasa kurang
memenuhi aspirasi masyarakat di daerah tersebut.
Ketidakpuasan
masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan sentralisasi pada akhirnya membawa Negara
Indonesia memberlakukan pemerintahan desentralisasi yang berdampak adanya
otonomi daerah.
Pemerintahan desentralisasi
berlaku tatkala ada penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan
prakarsa dan aspirasi dari rakyat di daerah tersebut dalam kerangka Negara
kesatuan Republik Indonesia.
Otonomi daerah adalah
kewenangan suatu daerah untuk menyusun, mengatur dan mengurus daerahnya sendiri
tanpa ada campur tangan serta bantuan dari pemerintah pusat.
Pemberlakuan otonomi
daerah tidak terlepas dari sisi negatif, yaitu daerah harus mengurusi
pemerintahannya sendiri termasuk melaksanakan Pilkada sendiri sehingga rawan
terjadi konflik, terutama dalam masa transisi dari pemerintahan sentralisasi ke
desentralisasi.
Sedangkan sisi positif
dari otonomi daerah, yaitu kebijakan yang ada di daerah dapat diputuskan di
daerah tanpa campur tangan pemerintah pusat sehingga diharapkan lebih memenuhi
aspirasi masyarakat di daerah tersebut.
Dengan diberlakukannya
otonomi daerah, maka daerah harus melaksanakan Pemilukada sendiri untuk memilih
kepala dan wakil kepala daerahnya.
B. Sejarah Pemilukada di Indonesia
Pemilukada pertama kali diselenggarakan pada bulan
Juni 2005. Sebelum tahun 2005, kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih
oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Sejak berlakunya UU No. 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pemilihan
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat Pilkada.
Sejak berlakunya UU No. 22 tahun 2007 tentang
Penyelenggaraan Pemilihan Umum, Pilkada dimasukkan dalam rezim Pemilu, sehingga
secara resmi bernama Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
atau disingkat Pemilukada.
Pada tahun 2011, terbit Undang-Undang baru tentang
Penyelenggaraan Pemilihan Umum, yaitu UU No. 15 tahun 2011.
C.
Pokok
Permasalahan
Pemilukada yang dilaksanakan sejak tahun 2005
ternyata bukannya tanpa masalah. Banyak terjadi konflik dalam pelaksanaan
Pemilukada. Banyak terjadi sengketa terhadap hasil Pemilukada. Pencegahan
terjadinya konflik dan perbaikan dalam pelaksanaan Pemilukada masih terus
dilakukan.
Kemudian bagaimana sebenarnya pelaksanaan Pemilukada
dan bagaimana penyelesaian sengketa terhadap hasil Pemilukada ?
Dalam bab II penulis akan membahas tentang
pelaksanaan Pemilukada dan penyelesaian sengketa terhadap hasil Pemilukada.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Landasan
hukum Pemilukada di Indonesia
Ketentuan tentang Pemilukada diatur dalam pasal 18
ayat (4) UUD 1945, yang berbunyi “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing
sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara
demokratis”.
Sedangkan Undang-Undang yang mengatur tata
pelaksanaan Pemilukada di Indonesia adalah UU No. 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Dalam pasal 21 UU No. 32 tahun 2004 diatur tentang hak-hak
daerah dalam menyelenggarakan otonomi, dimana salah satu haknya adalah memilih
pimpinan daerah.
Juga ada Undang-Undang yang mengatur tentang Penyelenggaraan
Pemilihan Umum, yaitu UU No. 15 tahun 2011.
B.
Penyelenggaraan
Pemilukada di Indonesia
Sesuai dengan pasal 24 UU No. 32 tahun 2004, di
Indonesia saat ini pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung oleh
penduduk daerah administratif setempat yang memenuhi syarat. Pemilihan kepala
daerah dilakukan satu paket bersama dengan wakil kepala daerah.
Kepala daerah
dan wakil kepala daerah yang dimaksud mencakup ;
·
Gubernur dan wakil gubernur untuk
provinsi.
·
Bupati dan wakil bupati untuk kabupaten.
·
Walikota dan wakil walikota untuk kota.
Pemilukada diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan
Umum Daerah (KPUD) provinsi dan KPUD kabupaten atau kota dengan diawasi oleh
Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) provinsi dan Panwaslu kabupaten atau
kota.
Khusus di Aceh, Pemilukada diselenggarakan oleh
Komisi Independen Pemilihan (KIP) dengan diawasi oleh Panitia Pengawas
Pemilihan Aceh (Panwaslih Aceh).
Berdasarkan pasal 56 ayat (2) UU No. 32 tahun 2004,
peserta Pemilukada adalah pasangan calon
yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Ketentuan ini
diubah dengan UU No. 12 tahun 2008, yang menyatakan bahwa peserta Pemilukada
juga dapat berasal dari pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah
orang. Undang-Undang ini menindaklanjuti keputusan Mahkamah Konstitusi yang
membatalkan beberapa pasal menyangkut peserta Pemilukada dalam UU No. 32 tahun
2004.
Khusus di Aceh, peserta Pemilukada juga dapat
diusulkan oleh partai politik lokal.
Mengenai masa jabatan kepala daerah diatur dalam
pasal 110 ayat (3) UU No. 32 tahun 2004, yang menyatakan bahwa kepala daerah
dan wakil kepala daerah yang telah dilantik secara sah sesuai dengan pasal 110
ayat (1) UU No. 32 tahun 2004 memegang jabatan selama lima tahun terhitung
sejak pelantikan dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama
hanya untuk satu kali masa jabatan.
Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan dalam
pelaksanaan Pemilukada diancam dengan ketentuan pidana yang diatur pada pasal
115 sampai 119 UU No. 32 tahun 2004.
C.
Penyelesaian
Sengketa Terhadap Hasil Pemilukada
Jika terjadi sengketa tentang hasil Pemilukada, maka
yang berwenang menyelesaikannya adalah Mahkamah Konstitusi. Hal ini sebenarnya
janggal, karena pada awal penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (Pilkada)
kewenangan untuk menangani sengketa hasil Pilkada diserahkan kepada Mahkamah
Agung.
Pada mulanya sesuai dengan pasal 24C ayat (1) UUD
1945, tugas utama Mahkamah Konstitusi adalah menguji Undang-Undang (UU) yang
dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (UUD 1945), dan kewenangan-kewenangan lainnya adalah memutus
sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945,
memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil
pemilihan umum.
Setelah munculnya UU No. 22 tahun 2007 yang
menggolongkan pemilihan kepala daerah ke dalam rezim Pemilu, barulah terjadi
pelimpahan kewenangan dari Mahkamah Agung kepada Mahkamah Konstitusi untuk
memutuskan sengketa terhadap hasil Pemilukada.
Bertambahnya kewenangan Mahkamah Konstitusi
menyebabkan bertambah banyak gugatan yang masuk. Apalagi menurut pasal 78 huruf
(a) UU No. 24 tahun 2003, batas waktu penyelesaian sengketa terhadap hasil
Pemilukada paling lambat 14 hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku
Registrasi Perkara Konstitusi.
Banyaknya gugatan yang masuk dan sempitnya waktu
penyelenggaraan peradilan (14 hari) berdampak tidak maksimalnya Mahkamah
Konstitusi dalam memeriksa dan memutus kasus sengketa terhadap hasil
Pemilukada.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final
dan mengikat (upaya pertama dan terakhir) dalam penyelesaian perselisihan
tentang hasil pemilihan umum, juga berdampak negatif. Sifat final dan mengikat
artinya setelah Mahkamah Konstitusi memutus tidak ada lagi upaya lain yang
dapat ditempuh. Hal ini bisa menjadi ladang korupsi. Didukung lagi dengan tidak
adanya lembaga pengawas yang mengawasi jalannya setiap persidangan sengketa
terhadap hasil pemilihan umum di Mahkamah Konstitusi.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pemilukada dilaksanakan setelah pemberlakuan otonomi
daerah. Masa transisi dari pemerintahan sentralisasi ke desentralisasi
menyebabkan pelaksanaan otonomi daerah masih belum seperti yang diharapkan
masyarakat. Pelaksanaan Pemilukada juga belum memenuhi pengharapan masyarakat.
B.
Saran
Tidak ada satupun hal yang sempurna di dunia ini, wajar
saja jika otonomi daerah juga mempunyai sisi negatif. Pengharapan masyarakat
akan pemerintahan yang lebih baik dengan diterapkannya otonomi daerah mungkin
belum bisa terwujud saat ini. Tetapi bisa saja terwujud di masa depan dengan
perbaikan berbagai sumber daya yang ada, terutama sumber daya manusia. Karena jika
otonomi daerah diibaratkan sebagai senjata, keberhasilan otonomi daerah
bergantung pada manusia-manusia yang melaksanakannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar